Bisnis.com, CIREBON - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Cirebon menentang kebijakan kenaikan tarif pajak hiburan 40-75%. Mereka meminta pemerintah membatalkan penerapan pajak itu. Ketua PHRI Kabupaten Cirebon Ida Khartika menyebutkan kebijakan tersebut memberatkan pengusaha. Apalagi, Kabupaten Cirebon saat ini sedang berupaya menjadi daerah tujuan wisata. "Kami ini sedang bangkit setelah pandemi Covid-19 melanda. Kondisi ramai selama tiga tahun terakhir juga terjadi pada momen tertentu saja, tidak setiap akhir pekan," kata Ida kepada Bisnis.com, Jumat (19/1/2024). Disebutkannya, kebijakan tersebut harusnya diberlakukan di kota-kota besar yang memiliki tempat hiburan dan atraksi lebih banyak. Menurut Ida, penetapan pajak hiburan yang ideal untuk Kabupaten Cirebon sebesar 10%. "Saya rasa pajak itu pantasnya diberlakukan di Bali, Jakarta, atau kota besar lainnya. Jelas, kebijakan ini membuat kami pengusaha babak belur," kata Ida.Baca JugaPolemik Pajak Hiburan 40-75%, Jokowi Disebut Minta Mendagri Siapkan Surat EdaranMenakar Untung Rugi Tingginya Pajak HiburanPolemik Pajak Hiburan: Ditolak Pengusaha Hingga Luhut Minta Ditunda Badan Pengelolaan Pendapatan Daerah (Bapenda) mulai memberlakukan pajak hiburan tertentu naik menjadi 40%. Semula, pajak tersebut hanya 35%. Pemerintah Kabupaten Cirebon bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten sepakat memilih angka kenaikan tersebut. Berdasarkan UU No. 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), disebutkan bahwa tarif pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) ditetapkan paling tinggi sebesar 10%. Namun demikian, khusus tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan paling rendah 40% dan paling tinggi sebesar 75%. Pemerintah Kabupaten Cirebon tidak bakal menaikan angka pajak ke level tertinggi. Hal tersebut dikhawatirkan menurunkan jumlah kunjungan wisatawan ke daerah. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News