Perbaikan Data
Perbaikan Data khusus anggota
Klik Di Sini

Polemik OTA Asing, Menparekraf Sandiaga Uno: Perlu Diselesaikan Agar Tak Jadi Preseden Buruk

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Danang Triatmojo TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno ikut menanggapi keluhan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) yang merasa dirugikan oleh online travel agent (OTA) asing yang beroperasi di Indonesia tetapi tidak membayar pajak. Menurut Sandiaga, masalah tersebut perlu segera diselesaikan agar tidak jadi preseden buruk. "Masalah ini harus segera diselesaikan, tidak boleh ada pihak yang dirugikan di dalam kegiatan pariwisata itu harus semua saling menguntungkan," kata Sandiaga dalam kegiatan 'The Weekly Brief with Sandi Uno' di Kantor Kemenparekraf, Jakarta, Senin (22/7/2024). Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta ini menyebut dunia pariwisata saat ini sedang berupaya bangkit setelah pandemi. Sehingga masalah yang berpotensi menjadi preseden buruk harus diatasi dan semua pihak bisa mendapat keadilan. “Jadi kalau misalnya ada yang despute (sengketa) kita akan mediasi dan fasilitasi karena semuanya adalah pelaku industri pariwisata. Jangan sampai ini dijadikan preseden dan nanti ada pihak-pihak yang dirugikan dan mencoreng citra baik dari industri pariwisata,” ucapnya. Perihal platform travel asing yang terdaftar Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) tapi belum mendirikan Badan Usaha Tetap (BUT) sehingga menyulitkan pengenaan pajak, Sandiaga mengatakan semua pihak yang berusaha di Indonesai harus mengikuti aturan yang berlaku. “Mereka harus mengikuti kaidah dari regulasi yang ada,” tegas Sandi. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda mengatakan travel asing berbasis aplikasi semestinya dipungut pajak untuk disetor ke kas negara. "Pungutan pajak dari OTA asing seharusnya dapat disetorkan ke kas negara," kata Nailul kepada wartawan, Jumat (19/7/2024). Kata dia, hal tersebut tak lepas dari bertumbuhnya model bisnis sejenis yang beroperasi Indonesia. Sebab, pertumbuhan model bisnis ini tidak diimbangi dengan perbaikan tata kelola perpajakan, di mana banyak platform travel asing yang tidak tertib pajak. Baca juga: Helikopter Jatuh di Bali, Sandiaga Uno Tegaskan Pariwisata di Indonesia Harus Aman dan Ikuti Aturan Meski mereka telah mendaftarkan diri menjadi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat, pungutan pajak tetap dibebankan ke pihak hotel karena platform travel tersebut tidak mempunyai Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia. Pemerintah pun semestinya mewajibkan mereka mendirikan kantor perwakilan di Indonesia, selain untuk memudahkan konsumen dalam menangani masalah reservasi juga dapat memudahkan petugas pajak dalam validasi data perpajakan. “Maka memang perlu penyesuaian seperti kantor perwakilan di Indonesia sehingga ketika perlu validasi data, petugas pajak kita tidak kebingunan,” tuturnya. Sorotan mengenai penertiban OTA asing sebelumnya disuarakan oleh Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Menurut PHRI, selama ini yang terjadi di lapangan adalah pihak hotel yang terpaksa harus 'menalangi' pungutan pajak itu kepada negara. Sekretaris Jenderal (Sekjen) PHRI, Maulana Yusran mengatakan kendati mereka memiliki daftar Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE), namun jika tidak mendirikan BUT akan menyebabkan kerugian bagi pelaku pariwisata domestik. Kerugian bukan hanya bagi pelaku usaha hotel maupun konsumen, tapi negara juga ikut dirugikan karena kehilangan potensi pendapatan dari pajak komisi dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). "Mereka membebankan pajak ke kita, pihak hotel, padahal kalau OTA lokal mereka yang bayar, bukan pihak kita. Ini tentu membebani kami," kata Sekretaris Jenderal (Sekjen) PHRI, Maulana Yusran, Rabu (17/7/2024