Tugumalang.id – Jika biasanya sebuah destinasi wisata populer hanya dimiliki oleh satu orang saja, Taman Rekreasi Selecta di Kota Batu, Jawa Timur, tidak menganut konsep itu. Justru, pemilik destinasi wisata legendaris yang sudah ada sejak 1928 itu mencapai 1.110 orang.Menariknya, rata-rata pemilik saham dari total 5 ribu lembar sahamnya adalah masyarakat desa sekitar. Nah, bicara tentang sejarah kepemilikan kolektif itu tak lepas dari sejarah perjuangan kemerdekaan RI yang waktu itu masih dijajah Belanda.Dibangun Warga Belanda Khusus Warga Kulit PutihDirektur Utama Selecta Sujud Hariadi menuturkan bahwa penggagas ide pembangunannya datang dari Ruijter de Wildt, warga keturunan Belanda. Mulanya, dia hanya ingin tinggal dan bercocok tanam dan beternak sapi perah.Baca Juga: Taman Rekreasi Selecta, Wisata Lengkap Untuk Keluarga di Kota BatuSuasana Selecta tempo dulu saat hanya dibolehkan untuk warga Eropa atau berkulit putih. Foto: digitalcollection.universiteid.leiden.nlNamun karena terpesona melihat lanskap alam di sana, Ruijter de Wildt berubah pikiran dan lantas membangun sebuah hotel lengkap dengan kolam renang. Pembangunan dimulai pada 1928 dan rampung pada 1930 silam dan dinamai Bath Hotel Selecta.Pemilihan nama Selecta sendiri berasal dari bahasa Belanda dari kata ‘Selectie’ yang artinya pilihan atau tempat yang terpilih. Merujuk pada keindahan lanskap alam pegunungan dan lokasi yang strategis di ketinggian 1.150 dpl dengan suhu udara yang sejuk berkisar di 15-25 derajat celcius.“Dari kata Selectie itu pula, saat itu tempat ini hanya dikhususkan bagi warga keturunan kulit putih atau warga Eropa saja. Warga pribumi dilarang masuk sini,” kisah Sujud pada tugumalang.id, Jumat (11/8/2023).Baca Juga: Menikmati Lanskap Bukit Lumut Endemik di Selecta Kota BatuHingga pada 1942-1945, Jepang mengambil alih kekuasaan Belanda, termasuk wilayah jajahannya di Kota Batu sebelum akhirnya kalah dari sekutu dan meninggalkan Indonesia. Selecta sendiri akhirnya dikelola orang Jepang bernama Mr. Hasigushi. Namun sejak dipegang Jepang, warga pribumi mulai dibolehkan masuk bahkan menginap di sini.Dirut PT Selecta Sujud Hariadi (kiri) dan Direktur Pramono (kanan) berfoto di samping prasasti 47 tokoh pendiri Selecta. Foto/Azmy“Makanya kemudian juga banyak tokoh proklamator seperti Bung Karno, Bung Hatta itu sering menginap di sini. Waktu itu, mereka masih kerap berkeliling memperjuangkan kemerdekaan,” jelasnya.Warga Patungan untuk Ambil Alih SelectaHingga kemudian pada 1949, meletuplah Agresi Militer Belanda II dan bangunan Selecta menjadi salah satu objek taktik bumi hangus pejuang agar tidak bisa ditempati Belanda lagi. Di sisi lain, Jepang meninggalkan Indonesia sejak kalah dari sekutu.Sejak itu pula, kawasan dan bangunan Selecta ini mangkrak hanya berupa puing-puing. Bahkan, di lokasi kolam renang sekarang dulu sempat diuruk tanah dan kemudian dijadikan lahan bercocok tanam oleh warga sekitar.Hingga pada 19 Januari 1950, ada sejumlah tokoh di desa setempat dipimpin Santoso Tarnoatmodjo bersama warga desanya merasa ‘eman’ (sayang, red) jika lokasi bersejarah tersebut ditelantarkan. Hanya saja, Ruijter de Wildt sudah meninggal.Akhirnya, mereka berinisiatif kembali menghidupkan tempat wisata itu. Bahkan sampai tahap mengurus legal hukum pembeliannya ke keluarga pemilik di Belanda.Alhasil, hingga sekarang, status kepemilikan Selecta resmi berganti menjadi NV atau PT Selecta. Dengan sistem pembagian saham yang dimiliki 47 orang yang melakukan patungan tadi.Ke-47 orang ini pula kemudian yang disebut sebagai pendiri dan pemilik saham awal PT Selecta. Nama mereka diabadikan dalam prasasti yang dipajang di pintu masuk hingga kini.Nama ke-47 tokoh pendiri Selecta dipajang di batu prasasti. Hingga kini, warisan semangat kolektif dalam mengelola destinasi wisata itu masih tetap terjaga. Foto: Azmy“Jadi, ini bukan harta rampasan perang. Para pendiri sudah mengurusnya secara resmi untuk membeli ke pemiliknya Ny. Ruijter de Wildt di Belanda,” kata dia.Uniknya lagi, sistem itu bertahan hingga sekarang. Bahkan kata Sujud, Selecta mungkin menjadi satu-satunya perusahaan dengan PT tertutup dengan jumlah pemilik lebih dari 100 orang di Indonesia.Di mana seharusnya, dalam kondisi persero yang dimiliki 300 lebih orang biasanya akan menjadi Perseroan Terbatas Terbuka atau PT Tbk, tapi PT Selecta tetap menjadi PT Tertutup walaupun dimiliki oleh lebih dari seribu persero.“Karena modal awal Selecta dulu kecil, tidak sampai Rp 3 miliar rupiah. Sedangkan UU mensyaratkan sebuah perusahan harus menjadi PT Tbk jika dimiliki oleh lebih dari 300 orang dan modal lebih dari Rp 3 miliar,” jelasnya.Dengan sistem itu pula, imbuh Sujud, Selecta tidak akan mungkin diakuisisi oleh satu nama orang saja. Lagipula, tidak mungkin satu orang ini mampu membeli saham satu per satu ke pemilik saham. “Butuh effort yang tak mudah,” timpalnya.Wisatawan mancanegara saat berkunjung ke Restoran Asri di Taman Rekreasi Selecta. Foto: Dok. SelectaDiketahui, 1.100 pemilik saham Selecta saat ini sudah tersebar di berbagai penjuru Indonesia. Ada yang dari Jakarta, Sulawesi hingga NTT. Mereka tidak hanya berasal dari kalangan menengah ke atas, tapi juga dari kalangan menengah ke bawah.“Tapi paling banyak dimiliki warga sekitar, dari 1.110 pemegang saham itu 40 persen pemiliknya warga desa sini, sisanya warga Malang Raya. Tiap tahun, mereka berkumpul untuk rapat RUPS (Rapat Umum Pembagian Saham),” bebernya.Besar keuntungan yang didapat pemilik saham juga tidak terlalu besar. Setiap tahunnya, dalam RUPS, besaran keuntungan yang didapat masing-masing pemilik saham berbeda-beda bergantung pada jumlah saham yang dimiliki dan besarnya laba perusahaan setiap tahunnya.“Besaran devidennya sebesar Rp 1,9 juta per saham. Tapi juga menyesuaikan kondisi keuntungan tiap tahunnya juga. Tahun lalu saja hanya dapat Rp 600 ribu per saham,” kata Sujud.Harga Per Lembar Sahamnya Tak TernilaiBicara soal nilai sahamnya, kata Sujud, sudah tidak lagi ternilai harganya. Mengingat pemilik saham ini rata-rata tidak berorientasi pada kurs uang. Namun jika dirupiahkan, Sujud tidak bisa memastikan nilai patennya dalam kurs sekarang.Hanya saja, asumsi sederhananya begini. Saat itu, Selecta dibeli seharga Rp305 ribu dari Ny Ruijter de Wildt. Harga segitu setara dengan 75 kilogram emas dengan harga Rp 4 per gram di tahun 1950.“Nah harga sekarang, tinggal dikalikan saja sesuai harga emas tiap tahunnya. Bayangkan dulu hanya dengan Rp 4 sudah dapat kolam renang, hotel dan lahan segini luas,” ungkapnya.“Tapi semua itu kan ter-split menjadi banyak pemilik saham yang sekarang mencapai 1.110 orang itu. Per orang bisa punya 1 sampai 10 lembar, tapi juga ada yang punya lebih dari 10 lembar saham. Ya, tinggal hitung sendiri saja berapa nilainya,” imbuh pria yang juga Ketua PHRI Kota Batu itu.Terlepas dari itu, karena Selecta merupakan PT tertutup, maka harga lembar sahamnya tidak bisa dipatenkan. Artinya, hanya pemilik saham yang bisa menentukan harga lembar sahamnya jika ingin menjualnya. Tapi pada 1950, nilai per saham adalah Rp 100 atau setara dengan 25 gram emas.“Beberapa tahun terakhir harga jual beli saham itu seharga 25 gram emas hingga 50 gram emas dan bergantung pada kesepakatan antara pemilik saham dan pembeli,” tuturnya.Kendati demikian, Sujud memastikan bahwa harga saham yang dibandrol pemilik saham jumlahnya di luar nalar. Mengingat mereka tidak berorientasi pada kurs uang, melainkan sense of belonging yang kuat terhadap Selecta.“Jadi mikirnya mereka sudah bukan nilai ekonomis, tapi sudah ke emosional, sense of belonging dan sejarah itu tadi. Rata-rata dari para pemegang saham ini punya rasa itu. Aneh ya,” ujarnya.Kepemilikan usaha wisata secara kolektif ini bisa jadi merupakan satu-satunya di Indonesia. Bahkan, model sistem kepemilikan itu tetap bertahan hingga sekarang. Dengan begitu, Selecta telah mematahkan anggapan umum, bahwa meski dibangun dengan asas kolektif, sebuah usaha tetap dapat bertahan lama. Bahkan mungkin abadi.Reporter: M Ulul AzmyEditor: Herlianto. A