SENTANI -Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Jayapura Bambang Zulhadi mengatakan, perhotelan di Kabupaten Jayapura saat ini mengalami mati suri. Hal ini dikarenakan okupansi (jumlah hunian kamar) di hotel baik berbintang maupun melati sama-sama terjun bebas, hanya dikisaran 30 persen. Menurut Bambang, turunnya okupansi hotel di Kabupaten Jayapura disebabkan banyak faktor. Seperti perekonomian yang masih lesu. Belum lagi Kabupaten Jayapura hanya sebagai tempat transit dan pengelolaan obyek wisata belum optimal, sehingga pengunjung dari luar juga belum banyak. Ditambah lagi adanya pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) di Tanah Papua membuat berbagai kegiatan tentunya sudah tidak lagi di Kabupaten dan Kota Jayapura. Tentu hal ini mempengaruhi okupansi di hotel-hotel yang ada di Kabupaten Jayapura. Ditambahkan lagi banyaknya hotel di Kabupaten dan Kota Jayapura. “Okupansi kita turun, rata-rata 30 persen bahkan bisa ada yang kurang dari itu. Jadi hal ini sangat mempengaruhi perekonomian di Kabupaten Jayapura, karena jika okupansi hotel bagus maka bisa menyumbang PAD tinggi dan kesejahteraan karyawan hotel bagus. Tapi kalau sepi tentu hotel mengurangi jumlah karyawan juga, karena biaya operasional hotel juga tinggi,”jelasnya, Senin (9/10). Bambang mengakui, di Kabupaten Jayapura jumlah Hotel kisaran ada 30-an dan ini terdiri dari hotel berbintang dan kelas melati, karena dampak dari okupansi hotel menurun maka bisa jadi terjadi ‘’perang harga’’ untuk menjaga eksistensi hotel tetap operasional. Walaupun demikian, pihaknya optimis hotel di Kabupaten Jayapura bisa bangkit jika pengelolaan tempat wisata terus ditingkatkan, supaya pengunjung tahu bahwa di Kabupaten Jayapura banyak obyek wisata dan ini juga dibutuhkan peran dari Pemkab Jayapura melalui Dinas Pariwisata Kabupaten Jayapura.(dil/ary) SENTANI -Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kabupaten Jayapura Bambang Zulhadi mengatakan, perhotelan di Kabupaten Jayapura saat ini mengalami mati suri. Hal ini dikarenakan okupansi (jumlah hunian kamar) di hotel baik berbintang maupun melati sama-sama terjun bebas, hanya dikisaran 30 persen. Menurut Bambang, turunnya okupansi hotel di Kabupaten Jayapura disebabkan banyak faktor. Seperti perekonomian yang masih lesu. Belum lagi Kabupaten Jayapura hanya sebagai tempat transit dan pengelolaan obyek wisata belum optimal, sehingga pengunjung dari luar juga belum banyak. Ditambah lagi adanya pemekaran Daerah Otonom Baru (DOB) di Tanah Papua membuat berbagai kegiatan tentunya sudah tidak lagi di Kabupaten dan Kota Jayapura. Tentu hal ini mempengaruhi okupansi di hotel-hotel yang ada di Kabupaten Jayapura. Ditambahkan lagi banyaknya hotel di Kabupaten dan Kota Jayapura. “Okupansi kita turun, rata-rata 30 persen bahkan bisa ada yang kurang dari itu. Jadi hal ini sangat mempengaruhi perekonomian di Kabupaten Jayapura, karena jika okupansi hotel bagus maka bisa menyumbang PAD tinggi dan kesejahteraan karyawan hotel bagus. Tapi kalau sepi tentu hotel mengurangi jumlah karyawan juga, karena biaya operasional hotel juga tinggi,”jelasnya, Senin (9/10). Bambang mengakui, di Kabupaten Jayapura jumlah Hotel kisaran ada 30-an dan ini terdiri dari hotel berbintang dan kelas melati, karena dampak dari okupansi hotel menurun maka bisa jadi terjadi ‘’perang harga’’ untuk menjaga eksistensi hotel tetap operasional. Walaupun demikian, pihaknya optimis hotel di Kabupaten Jayapura bisa bangkit jika pengelolaan tempat wisata terus ditingkatkan, supaya pengunjung tahu bahwa di Kabupaten Jayapura banyak obyek wisata dan ini juga dibutuhkan peran dari Pemkab Jayapura melalui Dinas Pariwisata Kabupaten Jayapura.(dil/ary)